183 - UNTITLED : bahureksa.

 


“Nasi gorengnya dua mas. Satu double telor satunya lagi satu aja telornya tapi agak gurih ya yang itu, pedesnya jangan banyak-banyak dikit aja, soalnya dia cupu ngga kuat  pedes siah mas.” cakap Raka dengan lancar tanpa perlu bertanya pada sahabatnya itu.

Ghiffari mengambil posisi untuk duduk disebelah Raka yang sudah lebih duluan menempati kursinya. 

“Depan gue setaaan ah, jangan sebelahan kayak mau balap makan. Biar keren kayak kita kolega bisnis dong.” 

Mendengar itu Ghiffari langsung bangkit, mengambil kursi plastik dan duduk berhadapan dengan Raka. “Monyet nyusahin.”

“Lo yaa setaan.. Tuhkan keren gini kita kayak gembong narkoboy lagi diskusi distribusi ke pelosok negeri.”

“Tolol ngomong keras-keras. Gimana kalau abangnya itu intel, monyet.” tekan Ghiffari.

Raka dan Ghiffari langsung menatap mas-mas nasi goreng yang sedang membuatkan pesanan keduanya. Merasa diperhatikan, mas nasi goreng tersebut akhirnya menoleh. Wajahnya seram mirip tukang pukul. Membuat Ghiffari dan Raka curiga kalau yang sedang membuatkan pesanannya ini memang intel. Akhirnya membuat keduanya hanya tersenyum kering, berharap mas nasi goreng tersebut tidak mendengar kalimat yang terakhir terucap.


“Mas minta gelas air panas satu, sendoknya dicelup situ ya.”

“Kebiasaan.”

Perihal nasi goreng agak gurih dengan sedikit pedas, perihal sendok yang selalu dicelup air panas terlebih dahulu, perihal posisi duduk yang lebih baik berhadapan daripada bersebelahan, sebenarnya sederhana. Namun sebagaimana pun Ghiffari mencari ke ujung dunia, pelakunya cuma satu, sahabat di depannya sekarang ini.

Pesanan keduanya datang, dua piring nasigoreng yang uapnya masih mengepul, di sambut dengan teh tawar panas yang disuguhkan, serta segelas air panas yang diisi dua pasang sendok dan garpu yang dicelupkan.


Ghiffari mengaduk aduk nasi goreng dihadapannya.


"Gak ada lagi kan, nyet? Nggak percaya sama perkataan gue sih."


"Huahhh hanasss... Hiyaah gak apa-apa lah. Kalau ketemu pasti sekarang kitaah bertiga makannya bertiga terus gue deg-degan serangan jantung lo mau tolongin emangghh." jawab Raka terbata, nasi gorengnya masih panas.


"Iyaa.. juga sih, mana lo kalau salting suka alay." lanjut Ghiffari santai. "Tapi nyet, ni ngobrol santai aja ya, apa hal yang mendasari lo sampe segininya sih anjing? i mean tiga tahun bukan waktu yang lama, nyet. Gue kalau jadi lo udah males." 

"Lo mau gue jelasin pake analogi nggak? Apa mau pake bahasa bayi aja?" tantang Raka.

Merasa tertantang, Ghiffari mengangkat kepalanya yang semula tertunduk pada makanan, "Analogi aja, gue ngga bego ya monyet. Pake bahasa inggris juga gue bisa, atau gue harus nunjukin skill nonton anime kalau gue ngerti juga bahasa jepang?"

"Ara araa.. kimochi?" 

"Goblok ah." Ghiffari melempar potongan mentimun dari piringnya pada Raka. Dengan sigap sosok yang menjadi sasaran pun melahap mentimunnya seperti kontes anjing laut di sea world.


"Hahahaa gini-gini... Lo bilang kan kalau lo jadi gue lo mungkin udah males? Nah gue juga sebenernya gitu gi, mau nyerah aja ibaratnya. Tapi analoginya gini, di dunia ini sebagaimana tingginya pendidikan orang, segimana kaya nya seseorang, tetep aja butuh yang namanya cinta." 


"Males, alay."  cebik Ghiffari.


Raka menyuap nasi gorengnya, sekarang menunjuki Ghiffari dengan sendoknya, "Serius, kalem. Belum selesai, maksud gue gini, sebagaimana pun mau bilang manusia ngga butuh cinta, mau nganggep cinta itu ngga penting, tapi Candi Prambanan dibangun karena cinta, Legenda gunung Tangkuban Perahu juga bukti dari cinta, Habibie-Ainun hidup bahagia karena cinta, Jack-Rose Titanic mati karena cinta, dan adanya kita di dunia bahkan samapi kita di posisi rusak begini, karena cinta kedua orang tua. Seberpengaruh itu. Mau nganggep cinta ngga penting, tapi nyatanya seberpengaruh itu, Jen."


Ghiffari tertegun, "Masih aja lo percaya yang gituan." 


"Itu bukan analogi, Jen. Itu memang faktanya. Gue kasih contoh yang asli kan itu."


"Kalau memang seberpengaruh itu, ya lo tinggal cari yang baru, nyet. Biar lo cepet dapet itu. Sampai ibaratnya nih, kalau gue analogikan idup lo sekarang ini ibarat lo ngemis-ngemis sama dunia biar ketemu dia doang. Padahal cewe banyak, dan lo ngga jelek amat. Jemput lah cinta bullshit yang kata lo itu. Gak selalu harus dia."


"Dulu gue juga berfikir kayak gitu. Gak harus dia. Tapi kesininya berubah. 'Gak, harus dia.' "  Raka menghela napasnya.


"Gini, Gi. Sama dia gue ngga usah nyeritain gue dari awal lagi. Perihal gue yang ngga perlu ngejelasin tentang diri gue, keluarga gue, tentang gue yang kalau tidur harus mepet tembok, tentang gue yang kalau makan lebih suka hadap-hadapan dari pada sebelahan, tentang gue yang ngga malu kalau ditanya kenapa sama dia setelah adu argumen sama papa, tentang gue yang bisa lemah di depan dia. Apapun itu biar saat gue ditanya, gue ngga perlu jelasin lagi. Belum tentu ada orang yang mau terima gue, setelah gue jelasin itu semua. Setelah tau semuanya tentang gue."

Ghiffari meneguk teh tawar panasnya, nasi gorengnya sudah selesai ia habiskan. "Berhenti glorifikasi dia itu sebegitunya berpengaruh di hidup lo, nyet. Lo sampai sekarang bisa bertahan tanpa dia dan itu hebat berpijak di atas kaki lo sendiri."

"Mungkin ini pengaruh hati lo yang udah mati, Gi. Atau mungkin dipaksa mati."

"Bukan gitu, emang dari awal gue ngga pernah percaya sama analogi-analogi tadi. Gunung tangkuban perahu memang kalau ditarik fakta dan logika masuk akal? Tentang perahu yang ditendang berubah jadi gunung gara-gara Sangkuriang kesel cintanya ditolak? Everything  must make sense, Ka" 



"Lo nonton petualangan Sherina nggak waktu kecil?"

"Nonton, kenapa?"

"Dari kecil kita diajarin via soundtracknya itu, lihat semuanya lebih dekat. Tentang kenapa bintang bersinar, kenapa air mengalir, kenapa dunia berputar. Kalau lihat segalanya lebih dekat, lo bakal ngerti itu, lo bakal bisa menilai itu lebih bijaksana." ada jeda Raka meneguk teh tawarnya, nasi gorengnya habis. 


"Orang yang paling bijaksana adalah orang yang bisa lihat sesuatu lebih dekat, salah satunya lo, Gi. Lo orang pertama yang bilang semua bukan salah gue saat gue salah pilih jalan untuk jadi informannya STM waktu itu. Lo lihat itu lebih cepet dari anak bahureksa yang lain, dan akhirnya gue masih disini, berhadapan sama lo makan nasi goreng, nyawa gue ngga habis digebukin sama mereka akibat gue milih purna bahureksa karena kesalahan gue itu."


Raka memberikan sekotak marlboro merah yang semula Ghiffari titipkan di saku jaketnya sebelum masuk venue konser. Tak menggubris kalimat Raka, Ghiffari mengambil dan menepuk-nepuk kotak tersebut agar tembakaunya memadat. 


"Disisi lain, gue ingin lo cepet ketemu dia." nada Ghiffari mengecil. "Tapi gue belum siap kalau lo pergi dan gue harus sendirian lagi. Segimana random dan anehnya lo, gue banyak belajar dari tingkah dan analogi lo itu, Ka."


Ghiffari menyelipkan rokok pada bibir tipisnya itu tanpa menyalakannya, "Lo tau ngga kenapa gue selalu nganter lo dari konser ke konser sampai tiga tahun ini? Kalau memang itu hari terakhir sama lo, gue seneng bisa ada di titik itu. Nemenin lo. Dan mungkin gue mau rekam itu sebagai memori terakhir kali gue mau lihat punggung lo yang jalan menjauh dari gue."

 "Memangnya lo se enggak suka itu sama dia sampai itu jadi hari terakhir buat kita? Nggak bisa temenan lagi?" 

"I don't know. Lihat sahabat yang nemenin gue malah direbut sama orang yang kasih gue luka. Mungkin pulihnya lama. Dia obat tapi kalau kita minum obat secara terus-menerus bakal jadi racun. Dan gue pernah jadi pecandunya. Kayak lagu tadi, ngga usah ditanya, rasa gue udah mati, Ka."


"Seperti gue bilang, kita bisa jadi korban di cerita kita sendiri tanpa tahu mungkin dia juga jadi korban di ceritanya. As i told you, lihat lebih deket, Jen. Kita mungkin bisa ngerti."


"Ah males ah ngomong sama budak cinta."  Ghiffari berdiri dari duduknya, "Jadi 30 ya mas?" Ghiffari mengeluarkan lembaran hijau dan ungu dari dompet saku belakangnya.


"Yehh tunggu dong, Jen. Malem ini gue nginep di kos lu ya hehe.."


"Males ah lampunya suka dinyalain."


Dengan analogi andalannya, Raka selalu mengajarkan untuk dilihat lebih dekat agar kita bisa menilai dengan bijaksana. Namun, tanpa melihat dengan dekat, sebenarnya ia selalu kenal sosok puan yang selama ini ia cari, sejauh apapun, dari sudut dan sisi manapun helaian rambut berwarna hazel, postur tubuh, cara berjalan, bahkan sling bag yang selalu tersampir ke sisi kiri dibandingkan sisi kanan dari puan pemilik nama akhir Pramudya tak pernah luput dari ingatannya.

Namun hari ini, posisinya dituntut untuk lebih bijaksana. Mengejar atau menurunkan egonya. Dan pilihan kedua menjadi pilihannya. 






Comments

  1. Wuaaaa akhirnya setelah tujuh purnama berlalu, eh tapi ceu jangan ada yg aneh2 lagi ya kebisaan klo bahagianya dikit nangis nya banyaakkk

    ReplyDelete
  2. JIAAVSJSNSNS ANJIRRR SETELAH SEKIAN PENANTIAN LAMA AAAGHHHH YA GUSTI 😭😭😭😭😭😭😭 RAKA LO EMANG KARAKTER FAVORIT GUEEEE WRWRWRWRWR

    ReplyDelete
  3. ARRRREGH GILA PERASAAN AKU CAMPUR ADUKKKKK. they found it!!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. EH GEMETERAN BUKAN THEY DENG TAPI HE. HUHUHUHUHU PASTI SI SUKMA SMIRK NIH😎

      Delete
  4. Semoga gada yg aneh2 lagi abis ini😭😭😭 tapi kalo ga aneh mau tamat dong aaaaaaa gamau

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

36 — UNTITLED: bahureksa

59 — UNTITLED: bahureksa.

41 — UNTITLED: bahureksa