182 - UNTITLED: bahureksa
Saatnya ku berkata.
Mungkin yang terakhir kalinya.
Sudahlah lepaskan semua.
Ku yakin inilah waktunya.
Sukma memasukkan kembali ponsel miliknya pada saku depan jaketnya setelah melihat beberapa cerita instagram dari beberapa nama yang memang menjadi tujuannya, Sukma tersenyum miring. Gotcha! batinnya. Buru-buru Sukma menarik pergelangan tangan Juni di sebelahnya yang benar-benar khusyuk dengan kedua irisnya menatap suar cahaya panggung.
"Mau kemana ih Ma.. Belum selesai."
"Pindah tempat ayo. Disini banyak copet. Lo mau dicopet?"
"Hah serius ada copet?" dengan polosnya Juni memindai kanan, kiri, depan bahkan belakangnya.
"Mending pindah ayo." tarik Sukma.
Sebisa mungkin Sukma mengingat-ingat posisi kedua sahabatnya, Ghiffari dan Raka. Menelaah dan memindai tempat yang serupa mirip dengan cerita instagram yang baru ia lihat. Sesekali matanya menatap langit mengingat-ingat dengan tangannya yang tak lepas menuntun Juni. "Air panaaass.. Air panas... permisi mau lewat...."
"Sukma ihh ini NOAH please mau nyanyi." cebik Juni kecil.
NOAH memang tidak pernah gagal mengguncang panggung dalam konser apa pun dan dimana pun. Perubahan dari Peterpan menjadi namanya yang sekarang pun tidak merubah sedikit pun kuantitas barisan fansnya. Lagunya memang enak dan nyaman untuk didengar. Sama seperti NOAH, Sukma pun sempurna tak pernah gagal menjadi sahabat.
Sukma memposisikan dirinya sempurna untuk dua belah pihak, sempurna sebagai sahabat Juni maupun sempurna sebagai sahabat bagi Bahureksa utamanya Ghiffari dan Raka yang selama ini sedang 'mencari'. Sukma harap Juni dapat dilindungi bukan hanya oleh dirinya. Sebab ia tahu, kapasitasnya tak sebesar itu. Perihal usia, manusia tak pernah tahu.
Iris Sukma menemui tujuannya, melihat dua sosok lelaki dengan pakaian yang sama hitam. Mirip pencopet yang ia katakan pada Juni. Satu sosok itu dengan lantang teriak menyanyikan bait dua kali lipat, satunya lagi hanya diam melipat tangan di dada dan memandang suar panggung.
Sedangkan Juni yang dituntun olehnya masih dengan mata yang tak lepas dari panggung. Sesekali bibir kecilnya mencuapkan senandung kecil dari lagu Mungkin Nanti milik NOAH.
Sukma menghentikan langkah dan menarik napasnya dalam.
Sukma yang tak bergerak lagi membuat Juni yakin posisinya dengan Sukma sekarang ini sudah posisi yang sempurna. Indra penglihatnya tak sedikitpun berpendar dari panggung.
"Udah siap?"
"HAAAH? APA MA NGGA KEDENGERR.."
"UDAH SIAAAAP?!!!"
"Apaaaa?" tanya Juni penasaran, matanya tetap keukeuh masih pada panggung.
Ariel sang vokalis meletakkan microphonenya pada standing mic. Memasuki reff dirinya mengacungkan kedua tangannya mengajak penonton ikut bersenandung untuk larut bersama. Tepat pada reff, Sukma memegangi kepala Juni, menengokan kepala itu pada dua sosok laki-laki yang berjarak kurang lebih sepuluh meter. Tanpa dijelaskan, Juni kenal siapa kedua sosok itu.
"...Dan mungkin bila nanti... kita kan bertemu lagi..."
Kali ini Juni mengerti siap yang dimaksud Sukma. Hari ini, setelah beribu hari berlalu, berjuta rindu yang menggebu, matanya bertemu kembali dengan pemilik nama Grisha dan Argapraja. Hari ini, Juni menatap mereka kembali. Degupnya berdetak tiga kali lebih cepat. Dunianya seakan berhenti. Pikirannya kosong. Hening. Kepalanya benar-benar hening.
Juni tak berpaling sedikitpun. Fokus panggungnya sudah berubah bukan NOAH lagi. Dari jaraknya ini, korneanya tak ayal memandangi lekat dua sosok lelaki itu, retinanya berkomplot dengan otaknya untuk melukis dengan indah mengabadikan panorama remangnya malam yang tak menjadi remang karena dua sosok itu.
"Kalau lo bilang dengan lo pergi bisa buat Bahureksa baik-baik aja. Dari luar mungkin orang lain liat emang iya, Jun. Tapi di dalemnya nggak gitu, lo salah Jun. Enggak dengan dua orang itu. Kita pincang tanpa Raka yang aslinya rame tapi tiba-tiba jadi diem. Kita pincang tanpa Ghiffa yang tiba-tiba diem gara-gara liat Raka. Alhasil, kita lumpuh."
Juni menelan ludahnya. Masih memerhatikan sosok dua orang tersebut. Raka dengan antusiasnya menyanyi dua kali lipat bak diisi pertamax turbo serta Ghiffari yang masih berpangku tangan serasa hendak menerkam Ariel NOAH, liriknya terlalu dalam. Dirinya tidak galau pun seakan terbawa arus. Sebelumnya lagu Kukatakan Dengan Indah, dan kini lagu galau andalan semua umat Mungkin Nanti.
"ANJINGGG GIII LAGU TERAKHIR! SIA MENDING IKUT NYANYII!"
Ghiffari menggelengkan kepalanya. Namun gelengan kepalanya itu seraya bergantian dengan senyum kotaknya setelah melihat Raka bernyanyi hingga habis suara dan memejamkan mata. Mirip kontes ayam jago milik Tifal.
"WOOOOO DAN MUNGKIN BILA NANTI KITA KAN BERTEMU LAGI!!!!" pekik Raka.
"Satu pintaku jangan kau coba tanyakan kembali, rasa yang ku tinggal mati." cuap Ghiffari kecil.
Entah mengapa, dari belasan pengisi acara malam itu hanya lirik tersebut yang Ghiffari ucapkan.
"SEPERTI HARI KEMARIN!!! SAAT SEMUANYA DISINI WOOOOO..." teriak Raka, kedua tangannya membuat simbol metal yang diacungkan diudara. Lebih mirip menonton konser Slank dibanding NOAH.
Pundak Ghiffari naik turun tak henti tertawa. Dengan itu Raka merangkul sahabat disampingnya itu. Berteriak bait terakhir lagu yang akan usai.
Hati Juni menghangat namun sepaket dengan perih yang menusuk. Mungkin saja rasa itu telah pergi. Tangannya meremat tali sling bag yang tersampir di dadanya. Sukma mengambil pergelangan tangan kecil itu.
"Yuk.."
"Sukmaa..."
Sukma menoleh pada sumber suara. Pelupuk Juni menurunkan airnya setetes. Sukma melepaskan genggamannya. Membungkukkan tubuhnya sedikit dengan bobotnya bertumpu pada pahanya sendiri. "Hei kenapaa..."
"Ngga sekarang.... Mereka pasti benci aku. Apalagi Raka. Dia jual jaketnya waktu itu."
"Jun, ngga gitu.."
"Apa yang jamin kamu tau semuanya, Ma?"
Sukma terdiam.
"Apa hubungan kamu sama bahureksa ngga bakal rusak gara-gara kamu udah tau aku duluan tapi ngga ngasih tau? Apa semuanya bakal sama aja kayak ngga terjadi apa-apa kalau aku kesana?"
"Manusia itu cuma dikasih dua pilihan, Jun. Iya atau nggak. Semuanya punya resiko yang sama-sama kita nggak pernah tau."
Juni menghembuskan napasnya kasar. "Ma, tapi manusia juga dikasih hak untuk nggak dipaksa. Aku takut Ma.. Ngga bisa..."
Usai NOAH melantunkan lagu terakhirnya, tiba saatnya Raka melancarkan misinya kembali. Mengedarkan matanya kesegala penjuru berharap menemui temu yang dituju.
"Ngga bakal ada, nyet..."
"Gi..."
"Hmm..."
"Sukma bukannya sakit gigi ya?"
Ghiffari menoleh pada Raka. "Iya..."
"Nadira bukannya lagi ikut nyokap bokapnya ke Jakarta ya?"
"Kenapa? Emang?" tanya Ghiffari semakin heran. Berulang kali ia menatap Raka dan objek yang diamatinya, menyamai pandangan sahabatnya itu. Namun tak tahu apa yang sebenarnya dilihat Raka.
"Jawab iya apa enggak?"
"IYA MONYET, ABEL BILANG SAMA GUE DIA DI KOSAN SENDIRI.." tekan Ghiffari emosi.
"WAHHH ANJIR SI SUKMA TAI SIALANNN!"
"Kenapa?"
"SELINGKUH GIII DIAAA, ANJING EDAN YAAH BISAAN ALESAN SAKIT GIGI. PADAHAL DISINI, TADI DI GANDENG CEWE KEARAH KELUARR.."
Skenario alam raya memang tak pernah terduga. Raka dan Ghiffari sepaket yang melengkapi menjadi satu. Dengan Raka, Ghiffari menjadi genap. Dengan Ghiffari, Raka menjadi tidak ganjil. Sesuai bait hati-hati dijalan. Perjalanan membawa keduanya bertemu. Saling melengkapi menjadi satu.
Skenario alam raya juga lucu, menakdirkan harus sepasang mata Raka yang memindai dan bergulat dengan pikirannya yang ada-ada saja. Jika itu Ghiffari, mungkin otaknya akan cekatan.
Lagi-lagi, skenario alam raya menjadi penyelamat tali antara Ghiffari dan Raka. Jika tidak diselamatkan oleh takdir, sebagaimana penggalan hati-hati dijalan, maka mungkin hari ini Raka melanjutkan perjalanannya, dan Ghiffari pun melanjutkan perjalanannya masing-masing.
Hari ini, skenario alam raya menunjukkan belas kasihannya. Bahureksa belum siap lumpuh.
Mungkin bukan sekarang. Mungkin nanti.
FAK AING NANGES
ReplyDeleteANJINGGG AH SIALAN SIAL SIAL AOSMJANSJS DIKIT LAGI ITU TAI
ReplyDeleteπ gatau lagi. ini pilihannya cuma yes sama yes ya? raka/gifa junπ
ReplyDeleteLEMES UDAH LEMESπππππππ GABISA BERKATA2 πππ
ReplyDeleteGATELL BANGETT PADAHAL DIKIT LAGI KETEMUUU AHHH
ReplyDeletePas banget lagi cape,sampe nangis ieuπππ
ReplyDelete