UNTITLED - 346





    Sekitar sedikit lagi mencapai tujuan, netra keduanya kini hanya bergerak mengikuti arah wiper yang bergerak mengusap kaca akibat tetesan gerimis air langit yang jatuh. Dipersimpangan lampu merah Pasteur, kini hanya hening menyelimuti keduanya setelah perdebatan kecil selama di perjalanan tadi. 


    "Kamu gak perlu sebegitunya sama Andro, Gi. Aku bisa pinjemin uang ku. Atau kalau perlu aku kasih gak usah dibayar lagi, aku gak apa-apa." terang Juni. 


    “Ini bukan sekedar uangnya, Jun. Aku juga punya kalau uang segitu. Aku cuma mau buktiin, kalau temen-temen ku gak sesuai dengan apa yang aku duga.” sanggah Ghiffari.


    Sedikit mengeratkan tangannya pada kemudi, Ghiffari menghela napasnya, “Ini momen yang pas. Udah aku pikirin. Agak aneh juga waktu aku dapet sms kaleng diwaktu yang pas banget itu.” Ghiffari hanya menggigit kecil bibirnya atas penjelasannya tadi. 


     “Kamu gak percaya temen kamu?”


   “Bukan gitu, tapi emang selalu ada korban tiap kejadiannya kaya gini. Aku takut kedepannya kena kamu juga.”


   “Aku gak apa-apa Gi. Aku udah biasa. Yang ada mungkin harusnya aku gak sama kamu. Biar kamu gak perlu celakain diri kamu sendiri, celakain temen kamu juga disituasi kayak gitu. Disana ada adik kamu juga, kamu gak mikir kesana? Kamu juga baru sembuh. Masih mau pergi?”

    Ghiffari, sosok pentolan jagoan Bahureksa itu memang keras kepala. Sulit jika sudah memiliki keinginan,“Iya, aku tetep pergi, besok.”


    Tak ada jawab dari Juni. Hanya tubuh Juni yang berubah posisi menghadap kaca di samping kirinya,  memunggungi Ghiffari.

        Ghiffari hanya menggertakan jemarinya pada kemudi. Bibirnya kembali ia gigit kecil. 


        Tiba ditujuan, Ghiffari memarkirkan Fortuner hitam yang ia bawa ke tepi bahu jalan. Tidak ada parkiran khusus, hanya sekedar bahu jalan di Sarijadi yang sedikit luas. Sebentar saja pikirnya untuk sekedar membeli cireng bumbu di pinggir jalan Sarijadi ini. Sepertinya mustahil ditemui polisi. 


Ghiffari melepas seatbeltnya. Mengalihkan netranya pada Juni yang masih memunggunginya, “Yuk? Cireng ini enak bumbunya, pake bumbu kacang gitu. Minumnya beli disitu, namanya keep smile rasanya 11 12 sama Chatime. Chatime versi gak punya uang haha.. Nanti kalau udah Andro, aku punya uang lagi, kita beli versi aslinya.” ajak Ghiffari, jangan lupakan senyum tulus dari ajakannya.


Ghiffari sedikit membuang napasnya, “Mau diem disini aja? Yaudah aku yang turun ya?”  Sepersekian detik kemudian, dapat dengan jelas terlihat oleh Juni dari posisinya ini sosok lelaki di sebelahnya yang telah turun. Memasuki gerobak cireng bumbu yang lelaki itu maksud dengan kedua tangan yang mencoba menutupi jatuhnya gerimis dari air langit yang turun. 


Terlihat begitu akrab dengan penjualnya hingga gummy smilenya dapat terlihat dari sini. Sedikit membenarkan posisi duduknya, Juni kehilangan pandangannya dari Ghiffari. Dari dalam fortuner hitam ini Juni mencoba mencari keberadaan pentolan geng yang selalu kalah taktik saat beradu tempur itu. Namun tak ditemui olehnya sosok berjaket semi parka berwarna hijau army itu.


Alisnya naik ketika netranya menemui sosok lelaki yang ia maksud. Berdiri dibawah kios minuman keep smile, membeli chatime kw yang ia maksud rupanya. 


Beberapa menit setelah itu, pintu kemudi terbuka kembali. Buru-buru Juni kembali pada posisinya. 


“Mang cirengnya langganan aku sama anak bahureksa kalau main futsal sama anak 15 suka pada mampir, jadi dibonusin nih pake cinta dan kasih sayang si mang katanya. Tapi yang bonusnya itu aku makan. Nanti kamu kepelet." 


Juni menahan tawa sekuat tenaga. Ceritanya kan masih marah sama Ghiffari. Ya mungkin dengan cara ini bisa buat lelaki di sebelahnya itu gak jadi buat sparing besok. 


“Makannya gak disini ya, ntar kita dikit jalan dulu ke Setra Duta. Makannya pinggir jalan daerah situ aja, biasanya sepi. Mobilku makan jalan, ngabisin tempat kalau parkir disini terus.” monolog Ghiffari.


Tak ada jawaban dari Juni. Hingga sampai di bahu jalan kawasan komplek mewah Setra Duta yang puluhan kali lebih luas dari bahu jalan Sarijadi tadi.


Ghiffari melepas seatbeltnya. Mematikan mesin mobilnya, hanya tersisa hembusan AC saja. Ia merogoh cireng bumbu dan hazelnut chocolate keepsmile yang telah ia beli dan ia simpan di bangku belakang.


“Nih.” 


Tak ditemui sedikitpun jawaban dari Juni. Bahkan cireng dan minumannya tak kunjung Juni ambil dari tangan Ghiffari. Bagi Ghiffari ini sungguh menyiksa. Ia sedikit membuang napasnya kembali, “Aku udah gak tahu lagi. Aku perjuangin biar aku sama kamu bisa nyaman jadi kita. Tapi kamu sendiri kayak gini. Aku bisa anter kamu seka-” 

“Tanpa kamu repot, aku juga bisa turun disini sekarang juga.”


Juni membuka seat beltnya dengan emosi. Menghantarkan jemarinya menuju kunci pintu mobil yang tertaut. Belum sempat membuka sepenuhnya kunci pintu itu, pergelangan tangannya ditahan dan sedikit ditarik oleh Ghiffari, "Aku gak bisa larang kamu kalau mau pergi. Tapi setidaknya bantu aku abisin cirengnya. Aku gak bisa sendiri. Iya aku brengsek pikirin diri aku sendiri, setelah ini kamu boleh pergi."

Ghiffari mengasongi cireng dan minuman yang telah ia beli. Merasa kasihan dan dalam prinsip keluarga Juni, tidak boleh marah pada makanan sedikitpun, orang diluar sana ingin makan aja susah.

Hal itu membawa jemari Juni mengambilnya. Membuka bungkusan cireng yang telah dilumuri bumbu kacang tersebut. 

Satu gigitan berhasil masuk di mulut kecilnya, seketika pula bulir air mata sang puan terjatuh.

"Hei.. maaf. Kamu boleh pergi kok. Aku gak pernah larang. Boleh sambil bawa cirengnya. Daripada kamu sini sama aku."

Juni menggelengkan kepalanya. 

"...Enak" air matanya terjatuh kembali, "Cirengnya enak sampai nangiss jelek.." ucap Juni dengan sedikit tertawa.


Ghiffari yang semula sudah hilang harapan malah tersenyum disertai napas kasarnya tak lupa sebari mengusap mukanya. "Ya Tuhan aku udah diujung jurang rasanya udah pasrah banget, Juni."


"Jangan berantem. Aku pinjemin uangnya."

"Ngga bisa." jawab Ghiffari. Tangan putih yang memperlihatkan urat peredaran darahnya menusuk Chocolate Hazelnut dan mengarahkan sedotan tersebut ke bibir sang puan. Juni pun menyedotnya.


"Ahhhh enak juga itu rasanya." 

"Aku bilang apa, ini chatime kw." Ibu jari Ghiffari mengusap bibir kecil Juni yang semula menyisakan saus kacang dan membawa noda di ibu jarinya untuk ia hisap.

Sial, untuk yang kesekian kalinya Juni berharap bahwa detak jantungnya tak tembus hingga ke telinga lawannya, "Lupain cireng sama chatime kw, aku mau marah lagi. Udah dong Gi, jangan berantem? Andro bentar lagi jangan aneh-aneh. Mana kamu baru sembuh."

Ghiffari membawa minuman Juni pada bibirnya sendiri, dan menyesapnya. Berbagi satu lubang yang sama. 

Juni merasa tusukan-demi tusukkan di ulu hatinya. Hal yang biasa bila ia berbagi satu sedotan yang sama dengan Sukma. Namun mengapa kali ini rasanya berbeda? Melihat air yang lewat ke kerongkongan Ghiffari membuat Juni mencari akar dari apa yang ia rasakan ini. Mengapa mendadak gila?

Amarahnya malah diuji. Datang dan hilang seketika.

"Aku ingin buktiin dugaan aku sama temen-temenku ini. Besok kamu jangan keluar rumah. Kalau mau, harus sama Tipal." ucap Ghiffari membenahi bungkus cireng yang telah Juni habiskan.

"Aku gak mau kamu kenapa-kenapa tau Gi. Aku bodo amat kamu mau berantem. Tapi jangan waktu kamu baru sembuh gini."

Ghiffari menyelipkan surai Juni kebelakang telinganya, "Aku bisa."

"Mereka cuma mau buat kamu celaka. Buat kamu gak sadar lagi kaya waktu itu. Pada akhirnya kamu gak dapet uang itu, kamu celaka, Andro-nya gagal. Dan kamu lagi yang kena kan atas gagalnya Andro itu?"

Ghiffari menurunkan suaranya, "Jangan takut ya? Aku bisa."

"Tapi Gi..."

Ghiffari membentangakan tangannya, isyarat peluk. "Aku cuma butuh peluk kamu buat bisa balik lagi."


Juni menggelengkan kepalanya, "Balik dulu, menang, baru boleh peluk. Janji?" Juni mengeluarkan kelingkingnya.

"Yah kok ditunda sih, kan jadi gak semangat." ucap Ghiffari.

"Boleh, apapun itu, mau peluk lama, sampai aku tidur, sampai seribu tahun lagi peluk aku boleh buat kamu. Biar kamu semangat untuk pulang.  Asal kamu balik lagi, pelukku untuk kamu, Gi." Juni mengasongkan kembali kelingkingnya yang belum menerima jawaban dari Ghiffari.

"Apapun itu? Kalau minta sun emang boleh?" 

"Boleh, asal pulang." pasrah Juni. 

"Hahahaha.. kamu gak perlu sepasrah itu, Jun. Aku bisa, aku janji pulang lagi, jemput peluk kamu." Ghiffari menautkan kelingkingnya, "Aku janji."

Jeda beberapa detik kemudian, Ghiffari memajukan dirinya, mendaratkan kecupnya pada kening Juni. Lama, begitu lama. Tangannya yang lain mengelus surai hitam sang puan yang terurai. Dapat Juni rasakan, kecup dikeningnya berubah menjadi senyum. Dengan itupula air matanya menetes.


"Apa ini isyarat sama persis kamu cium kening aku waktu di pullman, Gi?" Batin Juni.


Comments

  1. IHHHHHHH TYDAC BUSAH BER WORD WORD, AKU RELA MRNJAMED DEMI MEREKAHHHH.
    😭😭😭😭😭😭

    ReplyDelete
  2. Emg gk baik buat jantung ini si gipa..

    ReplyDelete
  3. Aku dh baca bissmillah padahal, tpi masih aja deg2an 😭

    ReplyDelete
  4. INI BENERAN MERINDING SE BADAN ALLAHU

    ReplyDelete
  5. baca ini ada saltingnya ada sedihnya jg,teh via emg paling bisa

    ReplyDelete
  6. Siapa sih ini mata2nyaaaa?? Rese bener. Gifa pokoknya pukang mesti masih utuh napas baik2 ajaaa

    ReplyDelete
  7. GHIFFARI MY MATE CHOCO HAZENUT!! EMANG SEENAK ITU WEH CHOCO HAZELNUT

    ReplyDelete
  8. Ada seneng tapi bikin degdegan :(

    ReplyDelete
  9. Jujurlah gw takut klo dia pulang tpi bukan pulang ke Juni😭 tpi ke Rahmatullah

    ReplyDelete
  10. Owh begini rasanya di baperin ama seorang yoongi yg di peranin ama gifari ya 😚😚😚😚..

    ReplyDelete
  11. KAK APASI JANGAN LAGI DONG PLIS? PLIS BGT JANGAN BIKIN ADA YG KENAPA NAPA LAGI MENTALKU AJA BELOM BALIK SEPENUHNYA INI GIPARI GUA TOTOK PALA LU YE KERAS KEPALA AMATTTT

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

36 — UNTITLED: bahureksa

59 — UNTITLED: bahureksa.

41 — UNTITLED: bahureksa