UNTITLED - 336
Ghiffari masih terbaring tak berdaya di ranjangnya setelah operasi yang dilakukan. Kesadarannya belum kembali. Sudah terhitung lima hari sang jagoan belum membuka sedikitpun kedua matanya. Pihak dokter yang melakukan tindakan atas operasi Ghiffari hanya memberi informasi jika operasi seperti ini memang biasanya merenggut kesadaran sedikit lama.
Beruntungnya, alat-alat medis yang sebelumnya melekat di tubuhnya hari ini bisa dilepaskan dari tubuh yang lemah itu. Menyisakan selang infus ditangannya. Dokter berucap, tubuh yang terbaring ini kondisinya membaik.
Juni disini, menemani Ghiffari. Sudah masuk jadwalnya kini untuk menemani Ghiffari. Sebelumnya, antara Raka, Juniar, maupun Sukma dan dirinya sepakat untuk bergantian menjaga Ghiffari. Menghubungi satu sama lain ketika ada perkembangan dari si jagoan yang sedang tertidur nyenyak.
Kala Juni membereskan beberapa benda diatas nakas disamping ranjang, Juni melihat pergerakan dari jemari Ghiffari. Juni membelalakan matanya, menggisiknya seakan tak percaya. Perlahan Ghiffari membuka matanya. Melihat sosok Juni dihadapannya. Dirinya tersenyum.
Dengan panik, Juni menekan tombol bantuan perawat dan dokter, isyarat informasi bahwa pasien sudah sadar. Juni pun dengan buru-buru mengambil ponselnya yang ia letakkan disamping tubuh Ghiffari. Baik Juniar, Raka, ataupun Sukma harus tahu akan hal ini, batinnya.
Belum sempat ponselnya ia ambil, Ghiffari memegang tangannya dengan lemas. Menggelengkan kepalanya tanda tak perlu. Sepatah kata terucap dari bibir mungilnya yang masih lemas,
"Mau sama kamu aja." ucapnya lemas. Kalimatnya diakhiri senyum.
Juni mengangguk mengiyakan. Beberapa saat kemudian, pintu ruang rawat terbuka mendatangkan dokter dan perawat yang mencoba mengecek kondisi Ghiffari. Senter yang disorotkan pada mata, pengecekan suhu, maupun tekanan darah dan yang lainnya tak luput dari pemeriksaan.
"Baik. Sudah baik semua kondisinya, mungkin masih lemas karena pengaruh obat dan infus. Masnya ini sudah sadar dari malam. Dia jagoan, mba. Saya baru ngalamin pasca operasi yang biasanya pulih di hari ke lima, eh ini hari ke empat tadi malam saja sudah sadar untung ada dokter jaga yang cek infus kesini tadi malam." ucap dokter.
Sejak malam sudah sadar? batin Juni. Juni melihat ke arah Ghiffari, Ghiffari hanya tersenyum.
Tidak heran sih bagi Juni. Sosok yang terbaring lemas dihadapannya ini selalu dengan sejuta tingkahnya yang aneh.
"Baik dok, terima kasih kalau begitu." kalimat Juni bagaikan ucapan selamat tinggal pada dokter. Pemandangan selanjutnya hanya punggung dokter yang meninggalkan Ghiffari dan Juni.
"Kamu malem-malem sadar hahh?! Tapi gak teriak bangunin aku?!!!"
Ghiffari hanya memejamkan matanya sebari tersenyum menahan tawa.
"Nanti kamu bangun. ka-sihan kamu."
"Aku, telepon Juniar, Raka, Sukma dulu yaa bentar."
"Kenapa, Jun?"
"Ya mereka harus tahu kalau kamu udah sadar, mereka yang kemarin-kemarin nungguin kamu, gantian. Eh giliran sama aku kamu sadar. kasian banget mereka hahahahaa.."
"Kenapa harus ayah?"
Bagai belati yang menghujam jantung Juni, kalimat Ghiffari membuat Juni skakmat. Entah harus apa yang ia jawab. Masih Juni ingat bagaimana percakapannya dengan ayah Ghiffari,
"Sy..syarat om?"
"Saya minta, jangan sampai dia tahu bahwa saya yang mendonorkan darah untuknya. Dia selalu benci saya. Rahasiakan ini rapat-rapat."
Juni mau menerangkan panjang lebar mengenai Ghiffari yang sebenarnya sungguh menyayangi sang ayah setengah matipun rasanya percuma, terlalu menghabiskan waktu. Fokus utamanya kini menyelamatkan Ghiffari dengan satu syarat. Sesuai dengan syarat dari Afriandi, dirinya enggan jika Ghiffari mengetahui bahwa yang mendonorkan darah untuk Ghiffari adalah dirinya. Mendengar kalimat dari Ghiffari, membuat Juni gelagapan bukan main.
"Eh.. maksud kamu apa Gi?"
"Aku sadar karna ayah. Iyakan?"
"Enggak, Gi. A-da yang dono-"
"Ayah kan? Nggak usah bohong, Jun. Aku lihat tadi malam ayah temenin kamu disini. Dia duduk disana." ucap Ghiffari.
KalimatGhiffari membuat Juni gelagapan.
"Dia dimana?"
"Kantin rumah sakit, Gi."
"Panggil dia kesini, tinggalin kita berdua."
"Tapi Gi..."
"Aku gak apa-apa, Jun. Sekalinya dia kasih darahnya untukku biar aku bangun, biar dia yang bunuhku dengan tangannya sendiri, bukan dari kecelakaan. Aku gak apa-apa. Mumpung aku lemah gak bisa apa-apa gak bisa lawan dia. Aku siap sekarang."
Batin Juni ingin berteriak. Mengapa dunia ini penuh dengan insan yang saling memendam perasaannya satu sama lain. Namun tak ada pilihan, dan kini Juni sudah jauh dari ruang rawat inap, meninggalkan keduanya dalam satu ruangan yang sama.
"Juni bilang kamu sudah sadar?" buka Afriandi dengan kalimat tanyanya. Ia membawa tubuhnya duduk dengan canggung di kursi samping ranjang Ghiffari. Melihat sang buah hati yang matanya terpejam.
"Ghiffari, sudah sadar?" ulangnya kembali.
Ghiffari menjawab iya dengan mengubah posisi tubuhnya ke samping kanan, memunggungi sang ayah.
"Bagaimana rasanya? Masih sakit?" tanya sang ayah canggung setelah melihat Ghiffari memunggunginya, seperti enggan bicara.
"Saya panggilkan dokter kalau kamu merasa sak-"
"Sakiit Yah, sakitt sekali... saya sakit.." suara lirih terdengar dari balik punggung yang memunggungi Afriandi.
"Sebentar kalau begitu, saya pangg-"
"Sakit, mengapa harus Ayah?" ucapan Afriandi terpotong. Kalimat tersebut membuat Afriandi menghentikan langkahnya. Kembali duduk dengan pemandangan punggung sang putra.
"Ribuan kali ayah membuat saya ingin ketemu ibu. Ribuan kali ayah membuat saya ingin mati. Tapi kenapa saat saya ingin mati, ayah yang membuat saya hidup kembali?"
Perkataan sang putra bagai belati yang menghujam ribuan kali pada Afriandi.
"Saya panggilkan dokter, sepertinya obatnya terlalu keras sehingga menggangu fikiran ka-"
"Sakit, Yah.. Sakit.." Ghiffari merintih, air matanya yang selalu ia tahan untuk turun di hadapan sang Ayah kini sudah jatuh tak terbendung.
"Kenapa saat saya siap mati, ayah hidupkan kembali? Kenapa harus ayah? Luka terdalam bagi saya."
"Jangan bicara aneh-aneh tentang mati, istirahat sa-"
"Sakit, Yah.."
Kalimat Afriandi tak pernah usai, selalu terpotong oleh sanggahan dari putranya. Dirinya sadar, ia hanya harus diam.
"Apa ayah tahu seberapa banyak saya ingin mati. Apa ayah tahu seberapa banyak saya mencoba ingin pergi dari dunia ini. Apa ayah tahu seberapa banyak saya menangis hanya karena ingin pulang ke pangkuan ibu? Apa ayah tahu seberapa sakitnya saya ingin mati tapi dihidupkan kembali oleh ayah?" tangis Ghiffari pecah. Afriandi dapat melihat tubuh sang putra bergetar hebat.
"Awal mula saya kecelakaan akibat tabrak lari, pandangan saya menjadi kelabu. Saya terjatuh melihat aspal jalan dengan tatapan yang kosong. Sepersekian detik kemudian beberapa orang datang menghampiri saya, itu musuh saya. Sekuat tenaga saya melawan. Namun saya teringat, jika saya mati sekarang ibu tak akan sedih karena anaknya yang bunuh diri. Baru kali itu saya senang dipukuli. Saya berharap saya mati. Kenapa ayah hidupkan kembali?"
Afriandi hanya bisa menatap punggung sang putra yang berbicara padanya sebari memunggunginya. Tangannya terulur ingin mengelus sang putra. Namun dirinya selalu tahu, Ghiffari selalu membencinya.
"Saya dipukuli dengan balok kayu, dipukul, ditendang, berulang kali dibangkitkan lalu dibenturkan. Sakit sekali rasanya, Yah. Tapi saya tahan agar saya bisa pergi bertemu ibu. Dan ayah bisa berbahagia tanpa harus melihat saya, penyebab ibu pergi. Tapi kenapa ayah hidupkan saya kembali saat saya ingin mati? Kenapa orang itu harus ayah? Paket terlengkap luka terdalam saya." bahu Ghiffari naik turun.
Afriandi bangkit dari duduknya, "Yang kamu perlukan istirahat. Bukan kehadiran saya disini." Kalimatnya mengakhiri pula kehadirannya di ruangan ini, meninggalkan Ghiffari yang memuaskan dirinya menangis seorang diri.
Dibalik sana setelah pintunya berhasil Afriandi tutup kembali, dirinya bersandar pada tembok penyekat ruangan dan lorong tempat dirinya berdiri. Menjatuhkan tetesan air mata yang ia bendung selama di dalam saat mendengar kalimat dari sang buah hati,
Bahkan dirinya belum tidur selama empat hari ini, menitah Sukma, Juniar, maupun Raka untuk pulang, biarkan dirinya yang menjaga sang jagoan kecil. Menghabiskan waktunya dengan puas memandangi lekat sang jagoan tanpa canggung.
batinnya bergumam,
"Bukan hanya ribuan kali, bahkan jutaan kali saya juga selalu ingin mati tatkala harus menjadi monster untuk anak saya sendiri. Saya selalu ingin mati tatkala cara saya menjaga kamu itu salah. Saya tak mau kehilangan harta berharga satu-satunya yang saya miliki, jagoan kecil saya, Ghiffari. "
Teh jangan gini tetiba aku kaya di lemari bawang 😭
ReplyDeleteaaaaa nangis bangetttt, gipaaaa😭😭😭😭
ReplyDeleteNANGISS KEJER 😭😭😭😭😭😭
ReplyDeleteaku ingin vn sambil nangis segsegukan
ReplyDeleteA gifaaa :( gaboleh nyerah
ReplyDeleteSekali nongol apdetan lgsg gas baca aja meski jiwaku menahan - " tunggu sampe apdetannya banyak dulu "
ReplyDeleteHalah kata jiwaku satunya, kelamaan keburu gatenang:(
mood banget baca nya huhu, lagi sesek baca ini jadi nyengir😭
DeleteMaaaf ya om tadi saya udah nethink
ReplyDeleteaaaaa papa nya cocwittt
ReplyDeleteKayanya juni harus ngajak ayah, mamah, gifa dan juniar piknik deh, terus Bermusyawarah didepan api unggun :) biar lurus gituuuu hubungannya
ReplyDeletetidak lupa juga membakar marshmellow atau jagung :)
DeleteAAAAAAA GIPAAAA
ReplyDeleteSyaratnya ternyata penuh bawang 😭😭
ReplyDeleteLanjutannya pun bawang doang isinya 😭😭
Pak Afriandi maaf saya udah ovt negthink duluan kalo bapak bakal jahat lagi ke gifa 🙏🙏😭😭
😭😭😭😭
ReplyDeleteAAAAAA 😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭
ReplyDeleteOm, Maap ya. Sempet suudzon tadi🙏. Gifa, kamu kan jagoan, ayo kuat. Gak selamanya alam semesta jahat sama kamu🥺, kamu juga bisa bahagia walaupun disisi lain dunia kamu hancur 🥺.😭
ReplyDeletebapanya gipa ternyata baikk😭😭 maaf ya om ak dah suudzon☹️
ReplyDeleteYaallah malem2 nangis, yang cuman bisa nyadarin bapaknya gifa sama gifa cuman Juni :"))) yuk Jun bisa yuk
ReplyDeleteTeh tolong bngt ini mah udh kaya orgil abis ngakak nonton mv seokjin baca au ghifa jadi nangis 😭😭😭🥺
ReplyDeleteatuh teh jangan gini 😭
ReplyDeletebesok mau galang dana buat semeru di alun2 kalo mataku bengkak di katain temen2 ntar 😭😭😭
1:54 AM.. njiir mewek aing😭
ReplyDeleteSe nangis nangis ini teh jam 2 pagi
ReplyDeletejam 02.15 mewek mewek pliss
ReplyDeletePecahh bgtt😭😭😭😭😭
ReplyDeleteEmang gaada yg tau isi hati manusia. Komedi kehidupan💔 Fakta apalagi yg bakal muncul ke depannya?
ReplyDeleteYa Allah subuh² nangisin gifa
ReplyDeleteGapernah gagal, sekali bikin bawang bkl nylekit bngt
ReplyDeleteGhiffa anak baik jagoan anak hebat semangat
ReplyDelete
ReplyDeleteNyesek banget baca ini masih pagi sudah mewek lah aku ini 😭😭😭😭😭
Teh sumpah aku gak ngira ternyata gini. Sakit bgt teh. Tenggorokan aku sakit
ReplyDeleteIkut Nyesek bnget bcanya 😭😭
ReplyDeleteTeh via 😭😭😭😭
ReplyDeleteBAWANG BANGETTT TEH NGGAK KUATTT
ReplyDeleteTeh via Naha sih setiap bikin part bawang pasti aku nangis kejer nyelekit kanu hate jleb pisan hue hue(╥﹏╥)
ReplyDeleteNangissss bangettt😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭
ReplyDeleteOalah syaratnya itu
ReplyDeleteIni lagi ujian offline masa sy nangis kan nggak lucu
ReplyDeleteBODOK AMAT MAH GUE AMA SKINKER MAH BODOK AMAAAAAATTTT
ReplyDeletegatau lagi gua nangiss😭😭😭😭
ReplyDeletea gifa semangat yu a🥺 ada teh juni sama bahureksa yang sayang aa loh😭 aa kuat yuuu🥺🥺🥺
ReplyDeleteCry😭
ReplyDeletenangis bgt😭
ReplyDeleteIni yang narok bawang siapa sih 😭😭😭 sumpah pengen peluk a gifa 😭😭😭
ReplyDeleteSUMPAH INIMAH AING MEWEK SESENGGUKAN BANGET, TEH TANGGUNG JAWAB TEH😭
ReplyDeleteAsu asuu aku nangis cok
ReplyDeleteIiih nangis bangeeett😭😭😭
ReplyDelete